Rabu, 31 Agustus 2016

.:: GAJAH ACEH yang AGUNG ::.


Rihlah Ibnu Batutah
Sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan.

Menurut M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya.
"Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah," tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda Sultan Perlak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas.

Dalam Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu uga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurutnya, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh Kerajaan Delhi (India).

Sementara Marcopolo menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar kepunyaan raja. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan sultan. 

Iskandar Muda, calon sultan, akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya,seekor anak gajah, menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya,Sultan Alau’ddin Riayat Syah, memberikan gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Sultan muda itu berlatih menunggang gajah tiap Senin dan Kamis. Sultan muda itu meneruskan tradisi kemahiran sultan Aceh dalam menunggangi gajah. Saya berkendara ke istananya dengan seekor gajah," tulis Davies dalam "Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk", 1599 John Davies, navigator Inggris,yg tersohor itu.

Augustin de Beaulieu, pedagang Prancis, menyaksikan bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar para gajah. Pada 1621 dia menyebut Aceh memiliki 900 ekor gajah. Karena melimpahnya armada gajah, Aceh tak memerlukan benteng kota.

Peter Mundy, pelancong Inggris. Meski hanya mengunjungi Aceh selama 10 hari, dia melihat upacara besar yang menyertakan banyak gajah pada 1637.

Dia mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan
Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan mengundang semua rakyat hadir, dari jelata hingga bangsawan.

Dalam masa damai, gajah menjadi bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat Aceh. Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), kepemilikan gajah tak terbatas lagi pada sultan. Orang kaya boleh memilikinya. Seiring meredupnya Kesultanan Aceh, gajah tak lagi menempati posisi penting dalam upacara keagamaan atau armada perang.Kini gajah Aceh tinggal kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar